Masalah Sampah : Pilah, Olah, Berkah

Saturday, February 13, 2021

 

sumber gambar : freepik.com

Beberapa hari lalu, saya protes ke tetangga. Kepulan asap dari sampah yang ia bakar sangat mengganggu. Tak hanya membuat pernafasan tidak nyaman, tapi cucian yang saya jemur juga jadi bau (maklum, ibu-ibu hehe).

Padahal, sudah ada peraturan terkait larangan membakar sampah sembarangan, tapi ya begitulah. Sebagian warga di sini masih melakukan metode tersebut dalam “menanggulangi” limbah rumah tangga mereka. Sedangkan sebagian lain menggunakan jasa petugas kebersihan.

Baik sampah organik maupun non organik cukup dikumpulkan jadi satu dalam bak sampah di depan rumah. Nanti akan dipungut oleh petugas kebersihan. Buntalan-buntalan sampah tersebut kemudian dibuang ke TPS (Tempat Penampungan Sementara) dan akan diteruskan ke TPA (Tempat Pemrosesan Akhir).

Metode kedua ini memang membuat lingkungan di sekitar rumah kita jadi bersih dan asri. Tapi bagaimana dengan kondisi TPA? Banyaknya sampah yang kita produksi tiap hari, mengakibatkan volume timbunan sampah di lokasi tersebut akan semakin menggunung.

Sebagai salah satu contoh, TPA Degayu di Pekalongan. Dari berita yang diansir oleh detik.com, ketinggian tumpukan sampah di TPA tersebut pada Juli 2020 mencapai 17 meter. Jauh melebihi batas standar yang ditentukan, yaitu di bawah 10 meter. Fenomena ini juga terjadi di banyak TPA lainnya.

Bukan masalah yang sepele. Bisa dibayangkan, berbagai persoalan dan bencana yang mengintai dari gunungan-gunungan sampah tersebut. Mulai dari kerusakan lingkungan, dampak kesehatan bagi masyarakat sekitar dan resiko berbahaya lainnya. Seperti tragedi longsornya TPA Leuwigajah Cimahi yang menelan hingga ratusan korban jiwa pada 2005 silam.

Pastinya, ini persoalan bersama yang harus segera ditanggulangi. Kita harus bergerak bersama, menekan, meminimalisir seminim-minimnya jumlah sampah yang masuk ke TPA. Dan tentunya, tanpa menimbulkan masalah baru.

Gaya Hidup Minim Sampah

“Buanglah sampah pada tempatnya”. Anjuran ini tidak salah. Hanya saja, jika kita tidak bisa mengontrol jumlah sampah yang terus menerus kita buang, TPA akan kewalahan dalam menampung dan memrosesnya.

Pada tahun lalu saja, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menaksir, timbunan sampah di negara kita mencapai 67,8 juta ton. Volume ini akan terus bertambah, bila kita tidak berusaha menekan produksi sampah.

Karena itu, sebagai langkah pertama, mari jadi bagian dari generasi yang menerapkan gaya hidup minim sampah. Khususnya sampah-sampah anorganik yang membutuhkan puluhan bahkan ratusan tahun untuk dapat terurai.

Yuk, biasakan membawa kantong belanja untuk menghindari penggunaan plastik sekali pakai, bawa botol minum saat bepergian, peralatan makan yang degradable, serta beralih ke produk-produk yang lebih ramah lingkungan. Adapula kini yang menerapkan prinsip tidak berlebihan membeli pakaian, guna mengurangi sampah fashion.

Tapi, bagaimanapun juga kita tidak mungkin seratus persen tidak memproduksi sampah. Sebagai mahluk hidup dengan berbagai aktivitasnya, kita pasti meninggalkan material-material sisa alias sampah.

Sedangkan pola campur kumpul – angkut – buang yang masih banyak diterapkan juga makin membebani TPA. Maka langkah berikutnya adalah memilah sampah dan mengolahnya. Seperti program Zero Waste Cities yang direplikasi oleh YPBB (Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan) dari Mother Earth Foundation di Filipina.

Pilah & Olah Agar Tak Jadi Musibah

Alih-alih berkutat di hilir, program Zero Waste Cities (ZWC) berusaha mengurai masalah dari hulu. Yaitu dengan pengelolaan sampah dari kawasan. Lingkup kawasan bisa diartikan sebagai area perumahan, mulai dari skala RT, RW dan seterusnya.

Dalam program ini, kita diharuskan memisah antara sampah organik dan anorganik. Jadi ngga bisa lagi sembarangan main cemplungin semua jenis sampah ke dalam satu tong atau bak sampah. Pilah dulu.

Sampah-sampah yang telah dipilah, baru kemudian diangkut oleh petugas kebersihan yang biasa berkeliling di kawasan kita. Gerobak sampah petugas ini tentunya juga sudah dibekali dua wadah. Satu untuk sampah organik, satunya lagi anorganik.

Petugas kebersihan mengangkut sampah-sampah warga RW 7 Kelurahan Lebakgede Bandung yang sebelumnya telah dipilah oleh warga. Sumber foto : ypbbblog.blogspot.com


Sampah organik yang sudah terkumpul, berhenti di kawasan. Lalu diolah dengan sistem pengomposan di titik kumpul yang telah disiapkan. Metodenya pun beragam. Diantaranya takakura, lubang biopori, bata terawang, lubang kompos dan biodigester. Tinggal pilih saja metode mana yang sekiranya sesuai dengan potensi dan karakter warga di masing-masing kawasan.

Sampah-sampah organik yang telah terkumpul dimasukkan ke dalam Bata Terawang untuk proses pengomposan. Sumber foto : ypbbblog.blogspot.com


Kompos yang sudah jadi, akan kembali ke warga. Pas banget kan, sekarang sedang giat-giatnya urban gardening. Tak ada alasan, tak ada lahan. Karena menanam sayuran, rempah hingga buah-buahan, di pot pun bisa.

Hasil budidaya sayur-sayuran, rempah, buah bisa kita konsumsi kembali. Selain dapat memangkas budget uang belanja, tentu kesehatannya lebih terjamin, karena kita menggunakan pupuk organik. Kemudian sampah-sampah rumah tangga ini komposkan lagi, lalu gunakan untuk menyuburkan tanaman kembali. Begitu seterusnya siklus material ini berputar.

Jadi, alih-alih sampah organik ini ikut diangkut ke TPA dan tumpukannya semakin membebani, alangkah jauh lebih baik bila dikelola di kawasan. Toh, kompos yang dihasilkan juga jadi berkah untuk perbaikan lahan dan kesuburan tanaman di kawasan kita.

Lalu bagaimana dengan sampah anorganik ?

Sampah jenis ini akan dipilah oleh petugas kebersihan. Seringkali sampah anorganik yang kita buang ternyata masih ada nilai guna atau bernilai ekonomi untuk orang lain, ada pula yang bisa didaur ulang. Setelah dipilah bisa dijual dan jadi tambahan pemasukan bagi petugas kebersihan.

Satu lagi nilai plus program ini, kita jadi lebih memanusiakan para petugas kebersihan. Biasanya yang bikin jorok adalah lindi dari sampah organik. Jika dari skala rumah sudah kita pisahkan, maka petugas tak lagi memilah dari onggokan sampah-sampah yang penuh air lindi dan bau menyengat.

Ya, walaupun namanya sampah, tapi jika bisa memberi berkah tanpa mereka harus terlalu bersusah payah, akan jauh lebih baik bukan.

Nah, setelah penyortiran dilakukan, barulah residu yang tidak bisa diolah di kawasan, dikirim ke TPS terdekat. Sistem penguraian dari hulu ini bertujuan menekan jumlah beban sampah yang menuju TPA.

ZWC Tekan Jumlah Beban Sampah Masuk TPA

Bentuk nyata penerapan ZWC bisa kita lihat di kota Bandung. Sejak tahun 2017, pola pengelolaan sampah dari kawasan mulai diadopsi oleh ibukota Jawa Barat ini, yang dikenal dengan sebutan Kang Pisman (Kurangi Pisah Manfaatkan).

Selain Bandung, adapula Cimahi dengan Barengras (Bareng-Bareng Kurangi Sampah). Di tahun 2019, Barengras sudah dijalankan di 15 kelurahan. Hasilnya, pengurangan sampah ke TPA dari area yang sudah melakukan pengumpulan terpilah mencapai 35 persen.

Selain dua kota tersebut, YPBB juga telah melakukan sosialisasi, edukasi serta pendampingan untuk penerapan ZWC di Kabupaten Bandung. Program ini juga merambah ke Denpasar dan Surabaya, dengan pendampingan oleh Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) serta Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton).

Hasil nyata pengurangan sampah menjadi alasan saya untuk mendukung dan turut menjalankan program ini. Saya berharap ke depan juga akan terbentuk peraturan pemerintah guna mendorong kota-kota lain di nusantara untuk menerapkan sistem ini.

Dengan semakin meluasnya area yang menerapkan program ini, maka hasil akan semakin signfikan. Yuk, kompak pilah sampah dari rumah.

 

Referensi tulisan :

www.news.detik.com

www.wikipedia.com

www.menlhk.go.id

www.ypbbblog.blogspot.com

youtube ypbbbandung

 

 

 

You Might Also Like

0 comments

Blogger Perempuan